Imran Tumbal Demokrasi: Kambing Hitam KPU dalam Skandal Pilkada Mateng yang Mengungkap Transaksi Politik Gelap

Kasus penggunaan ijazah palsu oleh Haris Halim Sinring, calon Bupati Mamuju Tengah (Mateng), menyisakan jejak skandal yang tak hanya mencederai proses demokrasi, tetapi juga menyingkap adanya kemungkinan "kontrak politik" yang kompleks dan sarat kepentingan. Lebih memilukan lagi, alih-alih sang calon yang lebih dulu diproses, justru Komisioner KPU Mateng, Imran Tri Kerwiyadi, yang terlebih dahulu dijatuhi vonis tiga tahun penjara. Lantas, publik pun bertanya: siapa yang sebenarnya bermain di balik layar?

Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Transaksional
Dalam konteks politik lokal, Pilkada sering kali tidak semata-mata menjadi arena kompetisi ide dan visi kepemimpinan. Ia lebih mirip panggung transaksional antara kekuatan politik, pengusaha lokal, elite birokrasi, bahkan aktor keamanan. Di titik inilah, kontrak politik lahir sebagai bentuk kompromi kekuasaan.

Kontrak ini bisa tidak tertulis, tetapi mengikat secara sosial dan politis. Janji proyek, jatah jabatan, atau komitmen melindungi kepentingan bisnis tertentu menjadi kompensasi atas dukungan yang diberikan.

Bentuk-Bentuk Kontrak Politik yang Patut Dicurigai
1. Kontrak dengan Partai Pengusung
Meski ijazah Haris Halim diduga palsu, partai tetap mengusungnya. Mengapa? Dugaan pertama tentu saja berkaitan dengan mahar politik atau "jaminan politik". Haris bisa saja menjanjikan alokasi jabatan strategis, proyek daerah, atau dukungan legislatif untuk agenda partai.

Bentuk kontraknya bisa sederhana: "Asal saya lolos dan menang, kepala dinas A dan B untuk partai kalian." Atau dalam bentuk aliran dana dari proyek daerah ke kantong partai.

2. Kontrak dengan Pemodal atau Pengusaha Lokal
Haris mungkin bukan tokoh dengan modal politik murni, tetapi bisa saja menjadi "kendaraan" dari pengusaha tambang, pemilik lahan, atau kontraktor proyek daerah.

Pemodal memberikan dana kampanye, sementara sang calon memberi imbal balik berupa kemudahan perizinan, proyek-proyek APBD, hingga akses terhadap pengaruh politik. Dalam hal ini, Haris tidak perlu kuat secara personal, selama ia bisa menjadi "wakil kepentingan" di pemerintahan daerah.

3. Kontrak dengan Elite Birokrasi dan Penegak Hukum
Pencalonan Haris dengan ijazah palsu seharusnya bisa dicegah sejak awal, jika saja semua lembaga bekerja maksimal. Namun faktanya, proses ini tetap berjalan. Apakah ini sinyal bahwa ada "pembiaran sistemik"? Atau bahkan, jaminan tidak akan tersentuh hukum?

Jika Haris berani maju, bisa jadi ia telah mengantongi semacam kontrak informal: "jangan takut, kami yang amankan di belakang." Kontrak ini bisa melibatkan elite di wilayah penegakan hukum, birokrasi, atau tokoh-tokoh informal yang punya kuasa.

Komisioner KPU: Tumbal atau Pengingat?
Imran Tri Kerwiyadi, komisioner KPU Mateng, divonis tiga tahun karena disebut lalai dalam memverifikasi dokumen. Padahal, tugas KPU bersifat administratif, bukan investigatif. Ia bukan penyidik keaslian ijazah, melainkan hanya memverifikasi dokumen yang secara administratif sah.

Yang makin ganjil, Komisioner KPU Mateng berjumlah lima orang, tetapi hanya Imran yang dijadikan terdakwa dan akhirnya dikorbankan. Apakah karena ia dianggap paling bertanggung jawab secara struktural? Atau karena ia satu-satunya yang tidak "masuk dalam lingkaran kontrak politik"?

Data Pembanding dari Kasus Serupa:

Kasus serupa di daerah lain menunjukkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum terhadap penyelenggara pemilu. Misalnya, pada Pilkada di sejumlah daerah di Indonesia seperti di Sulawesi Utara, terdapat beberapa calon yang maju dengan dokumen bermasalah, namun proses hukum terhadap penyelenggaranya tidak secepat di Mateng. Bahkan, beberapa di antaranya tetap diloloskan tanpa ada tindakan lebih lanjut.

Contoh lain, di Jawa Barat, ada kasus serupa di mana komisioner KPU setempat tidak dijadikan terdakwa meskipun dokumen salah administrasi ditemukan. Ini semakin memperkuat dugaan bahwa Imran menjadi tumbal karena tidak sejalan dengan "transaksi" yang berlangsung di balik pencalonan Haris.

Apakah ini seleksi politis yang disengaja? Bisa jadi, Imran adalah komisioner KPU yang dianggap tidak bisa dikendalikan, atau malah berani menantang kompromi yang ada. Pada akhirnya, ia menjadi "korban" yang dipilih untuk diproses secara hukum agar pihak-pihak yang lebih kuat tetap aman.

Skema Politik Boneka: Kemungkinan Lain
Tidak tertutup kemungkinan bahwa Haris sendiri adalah pion. Ia dipasang untuk maju bukan karena ia tokoh kuat, tetapi karena ia bisa dikendalikan. Dalam banyak kasus, tokoh-tokoh politik lokal dipasang bukan untuk memimpin, melainkan untuk mengamankan agenda pihak lain.

Jika benar, maka kontraknya bukan hanya menjanjikan jabatan kepada pemodal atau partai, tetapi juga menjanjikan kepatuhan: "Kamu akan jadi bupati, tapi semua keputusan penting tetap kami yang atur."

Ketika masalah mulai mencuat, skenarionya bisa berubah: pion dikorbankan, aktor utama tetap aman. Dan Imran, yang semestinya dilindungi oleh sistem, malah dikorbankan lebih dulu.

Demokrasi yang Terancam dan Harapan Publik
Kasus ini menjadi alarm keras bahwa demokrasi lokal kita sedang berada dalam ancaman serius. Jika penyelenggara pemilu yang menjalankan tugas sesuai prosedur bisa dikriminalisasi, maka siapa lagi yang bisa menjaga integritas pemilu?

Kita tidak hanya bicara soal satu calon, satu KPU, atau satu daerah. Ini soal masa depan demokrasi di tingkat akar rumput, dan bagaimana rakyat harus mulai lebih kritis terhadap apa yang terjadi di balik pencalonan pemimpin.

Imran mungkin hanya satu nama. Tapi perlawanan terhadap ketidakadilan yang menimpanya, bisa menjadi api kecil yang menyalakan keberanian publik untuk melawan dominasi kekuasaan yang diselubungi kontrak gelap.

Disclaimer: Tulisan ini adalah opini berbasis analisis terhadap data yang tersedia di media. Pembaca diharapkan tetap terbuka terhadap kemungkinan perkembangan informasi baru.